Angka hampir tidak bisa dipisahkan
dalam kehidupan manusia. Sejak bangun tidur kita melihat jam dinding kita akan
melihat angka. Lalu kita shalat Subuh, tetap juga tidak bisa melepaskan diri
dari angka, seperti jumlah raka’at, jumlah bacaan sujud, jumlah bacaan rukuk’,
dan sebagainya. Setelah shalat ketika kita membaca dzikir dan kalimah
thoyibah, tetap saja tidak bisa lepas dari angka.
Bayangkan, jika seseorang tidak
mengenal angka, tentu ia akan mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya. Beberapa
wirausahawan di masa lampau, meskipun beberapa diantaranya tidak bisa membaca
huruf, tetap saja pandai dalam bermain angka, seperti menghitung pendapatan dan
pengeluaran, menghitung omset dan kebutuhan, dan lain-lain. Artinya, kebutuhan
manusia akan mengerti angka, dalam pengertian numerasi, adalah sangat penting
untuk “kebaikan” hidupnya.
Oleh karena itu, dalam Gerakan Literasi
Nasional (GLN) yang dicanangkan pada tahun 2017, literasi numerasi merupakan
salah satu kecakapan yang sangat ditekankan. Menurut Andreas
Schleicher dari OECD, kemampuan numerasi yang baik merupakan proteksi terbaik
terhadap angka pengangguran, penghasilan yang rendah, dan kesehatan yang buruk.
Keterampilan numerasi dibutuhkan dalam semua aspek kehidupan, baik di rumah, di
pekerjaan, maupun di masyarakat.
Menurut Kemendikbud dalam buku Materi
Pendukung Gerakan Literasi Nasional (GLN), definisi literasi numerasi adalah
pengetahuan dan kecakapan untuk: (a) menggunakan berbagai macam angka dan
simbol-simbol yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah
praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari dan (b) menganalisis
informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dsb.)
lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan
mengambil keputusan.
Di sekolah dasar, para siswa dikenalkan
literasi numerasi sejak kelas 1. Bahkan di taman kanak-kanak, mereka sudah
dikenalkan dangan simbol-simbol angka. Mereka mulai dikenalkan numerasi dengan
menyebutkan jumlah tangan, kaki, mata, telinga, hidung, jari, dan seterusnya. Ketika
lebih besar mereka akan mempelajari jumlah kaki ayam, kambing, sapi, dan
binatang-binatang lainnya. Lebih lanjut, mereka juga kan diajari menambah dan
mengurangin sesuatu yang diberikan pada mereka.
Seperti jika mereka punya permen
kemudian sebagian dimakan, maka jumlah permen akan berkurang. Sedangkan jika
ayah atau ibu membelikan permen, maka jumlah permen mereka akan bertambah. Intinya,
sesuai kemampuan anak, numerasi diajarkan para guru dengan berbagai metode dan
strategi yang digunakannya. Demikian seterusnya, di sekolah dasar, sekolah
menengah, bahkan perguruan tinggi, literasi numerasi akan selalu dikembangkan.
Namun demikian, hampir disemua tingkatan,
literasi numerasi dalam bentuk pelajaran matematika, sering menjadi “momok”
yang menakutkan. Baik siswa SD, SMP, SMA, dan bahkan para mahasiswa, masih
memandang pelajaran matematika sebagai pelajaran yang sulit. Oleh karena itu,
para guru perlu merancang strategi yang terbaik, agar penguatan kecakapan
literasi numerasi ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Di sekolah dasar, penguatan
literasi numerasi tidak selalu dikaitkan dengan pelajaran matematika. Pelajaran-pelajaran
kecakapan hidup, kewirausahaan, ketrampilan, bahkan seni dapat digunakan untuk
menguatkan kecakapan literasi numerasi siswa. Tinggal bagaimana guru dapat
memformulasikan kegiatan belajar yang menyenangkan tetapi tetap dapat
menguatkan kecakapan literasi numerasi siswa.
Sebuah sekolah mengadakan bazar,
untuk menguatkan kecakapan literasi numerasi siswa. Dalam bazar yang diadakan
secara sederhana itu, siswa diminta menjadi penjual sekaligus pembeli. Sebagai
penjual, para siswa secara berkelompok harus “urunan” sejumlah uang, untuk modal
membeli barang dagangan. Dari barang-barang yang dibeli itu, siswa harus dapat
menentukan berapa harga beli masing-masing barang. Setelah itu, mereka juga
harus menentukan, berapa harga jual dari masing-masing barang yang akan
dijajakan.
Selain mengasah kemampuan
berwirausaha, disini para siswa juga belajar menentukan harga jual
masing-masing barang, setelah ia membeli barang dalam jumlah banyak. Barang
dagangan yang dibeli dalam ukuran dozen harus dirinci menjadi harga
barang satuan. Kemudian ia harus dapat menentukan berapa harga jualnya, dan
menghitung berapa laba yang diperolehnya, baik dalam bentuk nominal maupun
persentase.
Setelah bazar selesai, para siswa
harus membuat laporan. Laporan itu terdiri dari berapa barang yang dibeli dan
berapa nominalnya, berapa barang yang terjual beserta nominal, dan berapa barang
yang tersisa. Lebih lanjut, para siswa juga harus dapat mengembalikan modal
kepada anggota kelompok, tentunya setelah itu ditambah berapa laba yang harus
diterima masing-masing pemodal.
Berdasarkan uraian di atas, hanya
dari sebuah kegiatan bazar kelas, kita dapat mengajarkan banyak hal tentang
literasi numerasi. Para guru dapat memodifikasi berbagai kegiatan, agar
penguatan kecakapan literasi ini dapat senantiasa ditingkatkan. Mengingat,
modal kecakapan literasi numerasi ini sangat penting bagi kehidupan para siswa
di masa mendatang.